Senin, 25 Januari 2010

Teknologi ATM Perbankan Indonesia Ketinggalan 10 tahun dari Malaysia

Kasus pencurian uang nasabah bank melalui anjungan tunai mandiri (ATM) harus diusut tuntas. Pada saat yang sama, bank harus meningkatkan sistem keamanan transaksi “kartu uang” itu. Semua langkah ini penting demi mencegah terjadinya krisis kepercayaan terhadap perbankan yang bisa mengganggu perekonomian nasional.

Jumlah nasabah yang uangnya digangsir memang hanya ratusan dengan nilai cuma beberapa miliar rupiah. Ini juga bukan pertama kalinya terjadi pembobolan terhadap kartu kredit maupun kartu debit. Tapi pencurian kali ini merupakan yang terbesar yang pernah terjadi di ATM. Dapat menggangsir anjungan uang milik enam bank besar milik pemerintah dan swasta, jelas sekali pelakunya sangat lihai.

Kesediaan bank untuk mengganti uang nasabah yang raib patut diapresiasi. Tapi ini tidak cukup. Kejahatan ini harus diusut tuntas: modus operandinya harus diketahui, pelakunya harus ditangkap. Bila pencurian ini dilakukan dari luar negeri dan pelakunya warga negara lain, mintalah bantuan Interpol untuk menangkap mereka. Upaya ini harus ditempuh dengan segala daya agar pencurian serupa di anjungan bank tidak terjadi lagi di masa depan.

Bank juga harus bergegas meningkatkan sistem keamanan transaksi di anjungannya. Dalam soal ini, kita jauh ketinggalan. Di Malaysia, misalnya, setiap kartu kredit dan debit sudah memakai teknologi smart card, yang jauh lebih aman. Di Indonesia, baru kartu kredit yang memakai cip itu, sedangkan kartu debit yang menjadi korban penggangsiran belakangan ini masih memakai teknologi penyimpan magnetik.
Padahal, sejak 2009, Bank Indonesia mewajibkan seluruh kartu pembayaran menggunakan cip smart card.

Memang ada kendala untuk menerapkan kewajiban itu. Dari sisi perangkat, konversi kartu magnetik menjadi kartu cip membutuhkan penggantian seluruh perangkat transaksi: dari penggantian kartu, alat pembacanya di mesin ATM, hingga perubahan sistem operasional di bank. Biayanya jelas mahal karena harga satu unit mesin ATM cip saja mencapai US$ 9.00011.000 dan harga satu kartu antara US$ 1 dan US$ 2.
Dua tahun lalu saja, total biaya untuk konversi ini ditaksir mencapai Rp 2 triliun.

Kendala lainnya adalah waktu. Di Malaysia saja, yang infrastruktur teknologinya lebih bagus dan wilayahnya tak seluas Indonesia, konversi itu butuh waktu 4 tahun.

Tapi ini bukan alasan bagi bank untuk tidak mengkonversi kartu debit magnetik ke kartu cip. Soalnya, sudah menjadi kewajiban setiap bank untuk mengamankan uang nasabahnya. Jumlah pemilik kartu debit juga jauh lebih banyak dibanding kartu kredit, dan di masa depan kartu-kartu sejenis ini diperkirakan bakal mengambil alih fungsi uang.

Sembari menunggu konversi ke kartu cip itu selesai, ada beberapa hal yang bisa dilakukan bank demi mengurangi kasus kejahatan ini. Misalnya bank mengkampanyekan cara-cara penggunaan kartu yang benar kepada nasabahnya. Bank juga harus menambah sistem keamanan konvensional di anjungannya, seperti dengan memasang kamera pengintai dan menambah petugas untuk mengawasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar